TIRIQ DAN TITAH TUHAN YANG TERLUPAKAN
Oleh : Muhammad Arif Yunus

Tulisan ini tidak membedah sejauh mana orang membid’ahkan maulid, dengan dalil apa yang mereka pakai untuk membid’ahkan maulid, akan tetapi, tulisan ini lebih menitik beratkan tentang makna budaya tiriq dalam perayaan maulid Nabi saw yang ada di Mandar dan sedikit menyinggung sejarah perayaan maulid.
Pada tanggal 30 Juli 2007, Syeikh Dr. Ali Goma mufti Mesir yang bermazhab Sunni Syafi’i, mengungkapkan dalam tulisannya sebagaimana dimuat situs Darul Ifta’ (Lembaga Fatwa Mesir), menilai perayaan Maulid Nabi saw sebagai salah satu amalan terbaik.
Lebih lanjut Ali Goma mengungkapkan bahwa sejak abad ke-4 dan ke-5 maulid Nabi saw mulai mentradisi di tengah umat Islam. Saat itu orang-orang shalih terdahulu merayakannya dengan cara memeriahkan suasana malam maulid dengan amalan-amalan “taqarrub” (pendekatan kepada Allah) semisal berbagi makanan, membaca al-Qur’an, berzikir dan membacakan syair-syair tentang Rasulullah saw.
Perayaan tahunan maulid Nabi saw merupakan bentuk kebangkitan Islam dengan spiritualitas yang tinggi, tidak hanya itu Perayaan maulid mengingatkan kita kepada sang pembawa rahmat, sang cahaya Tuhan, petunjuk dan pelita yang menerangi yakni titisan Tuhan yang agung Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam.
Seorang bayi dari bangsa Arab yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad, terpuji di bumi, tersanjung di langit. Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam diutus Allah untuk menyempurnakan perilaku mulia manusia. Tatkala manusia sebagai makhluk beradab berada di ambang kehancuran. Sungguh, kelahiran dan terutusnya beliau adalah rahmat bagi alam semesta (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ).
Peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW jatuh tiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Peringatan tersebut selalu dirayakan dengan cara yang berbeda-beda dari tiap daerah di Indonesia. Beragam perayaan tersebut menjadi adat istiadat daerah setempat yang selalu ditunggu-tunggu.
Daerah polewali Mandar merupakan salah satu daerah yang perayaan maulidnya terbilang unik, selain membacakan sirah atau riwayat hidup dan sejarah kelahiran Nabi, juga mempersiapkan pernak-pernik hiasan yakni tiriq (bahasa lokal Mandar).
Tiriq merupakan tempat menancapkan batang bambu (bahan-bahan tiriq tersebut umumnya dari pohon pisang yang sedang berbuah, batang bambu dipotong kira-kira berukuran 20 sampai 30 cm, kemudian bambu tersebut dibuat menyerupai tusukan sate, akan tetapi bambu untuk tiriq lebih besar dari tusuk sate. Masing-masing ujung bambu diruncingkan untuk menusuk batang pisang dan runcing satunya dihias dan ujungnya dipasang telur ayam/bebek yang telah direbus).
Filosofi Tiriq
Keunikan pernak-pernik hiasan tiriq menjadikan masyarakat Mandar memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat lainnya perihal perayakan maulid Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.
Akan tetapi banyak yang belum memahami bahwa tiriq selain memiliki keindahan tersendiri juga memiliki makna filosofis yang sangat dalam, nila filosofis yang dikandung dalam tiriq sejatinya dapat mengantarkan kita untuk memahami esensi manusia dengan alam dan Tuhan.
Analogi kata tiriq menurut ijtihad penulis bisa jadi terambil dari kata tariqah, yang mana tariqah Secara bahasa dapat berarti jalan, metode, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana.
Tariqah dalam arti jalan, dapat kita temukan di dalam beberapa ayat Al-Quran, di antaranya adalah wahyu Allah berikut:
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Terjemahanya
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (Al-Jin, 72:16).
Alasan penulis menganalogikan tiriq dengan tariqah dikarenakan, pertama, orang dahulu tidak serta merta menghadirkan tiriq dalam merayakan maulid, pasti mempunyai alasan tertentu.
Kedua, bahan-bahan yang dipakai sehingga menghasilkan penamaan tiriq mempunyai makna tersendiri, contohnya pohon pisang, telur, bambu, atupe (ketupat) dan sokkol.
Tidak dapat dipungkir pasti dalam benak kita sering muncul pertanyaan, mengapa harus pohon pisang, mengapa tidak memakai pohon yang lain saja?. Mengapa harus ada telur, mengapa tidak memakai makanan kekinian saja, contohnya Pizza dll?. Mengapa harus pakai bambu untuk menusuk telur di batang pisang?. Mengapa ada atupe (ketupat) dan sokkol?.
Mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, awalnya saya tidak tahu menahu juga tentang nilai apa yang terkandung dalam tiriq, tapi setelah sekian lama berfikir dan merenunginya akhirnya saya sedikit mengerti tentang nilai yang terkandung dalam tiriq.
Berikut ini beberapa pelajaran yang bisa di ambil dari bahan-bahan yang ada pada tiriq, pembahasan ini penulis batasi hanya pada pohon pisang, telur, bambu. 1. Pohon pisang, pohon pisang bisa tumbuh dimanapun, termasuk di tempat yang gersang sekalipun, pohon pisang sangat kuat dan selalu survive dimanapun dia berada.
Begitupula dalam hidup ini, kita harus meniru pohon pisang yang bisa hidup dimanapun, bagaimanapun keadaanya dan selalu berusaha untuk tetap hidup, dan tidak mudah menyerah dengan keadaan. Selain itu Pohon pisang tidak akan mati sebelum menumbuhkan tunas yang baru (dalam keadaan normal).
Hal ini sangat jelas sekali, bahwa dalam hidup kita harus berkarya, menghasilkan sesuatu yang bisa memberikan manfaat pada orang lain. Dalam perayaan maulid Nabi saw di Mandar biasanya pohon pisang diletakkan dalam masjid maupun diluar masjid dalam posisi berdiri, menurut penulis posisi berdiri ini mengindikasikan hubungan manusia kepada sang khalik.
2. Telur, “Jika telur pecah karena faktor dari luar, maka kehidupan berakhir. Tetapi,jika telur pecah karena energi dari dalam, maka kehidupan dimulai”. Inilah yang disebut filosofi telur. Hal ini memberikan suatu pelajaran bagi kita, bahwa hal-hal besar dan luar biasa selalu terjadi dari dalam. Dan sesuatu yang hebat biasanya dimulai dari dalam. Makanya, kita juga mengenal motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. intristik, artinya dari dalam diri sendiri.
Motivasi ekstrinsik, artinya motivasi karena dorongan dari pihak dan kondisi di luar diri orang tersebut. Kenyataan menunjukkan, motivasi dari dalam, lebih langgeng, lebih tahan lama dan lebih kuat energinya daripada motivasi dari luar.
Prihal telur ada juga yang mengatakan bahwa telur itu mempunyai simbol keislaman, keiman dan ihsan dalam tiriq. Kulit telur disimboli islam, putih telur disimboli iman dan kuning telur disimboli ihsan. Yang terjadi dalam tiriq, telur tersebut ditusuk bambu kemudian ditancapkan ke pohon pisang secara horizontal. Hal ini mengindikasikan hubungan manusia terhadap manusia.
3. Bambu, dalam tiriq juga mempunyai nilai filosofis yang sangat dalam yakni "Pada awal masa hidupnya, bambu hanya tumbuh ke atas beberapa centi saja pertahun. Pada masa itu bambu lebih tumbuh pada akarnya yang menjalar ke dalam tanah. Walaupun akarnya kuat, bambu tidak tumbuh sendiri. Bambu tumbuh bersanding dengan bambu-bambu lainnya. Hal itu membuat bambu tidak mudah roboh.
Sekalipun kita sudah mempunyai dasar yang kuat, kita tidak boleh sombong dan ingin hidup sendiri. Karena kita lebih kuat jika mau saling membantu orang lain. Hal itu menjadikan kita lebih kuat, jika akan jatuh masih ada yang bisa menopang kita.
Dalam tiriq posisi bambu ditancapkan ke batang pisang secara horizontal, ketika kita menghubungkan dengan makna filosofi yang terkandung dalam bambu maka memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk sampai kepada Tuhan hal yang mendasar yang harus diperhatikan pula adalah hubungan kepada manusia (hablun minannas).
Hal yang sama terjadi dalam filosofi ketupat, simbol ketupat dalam tiriq memberi pelajaran kepada kita tentang pentingnya berhati bersih saling bantu membantu. Dalam budaya Mandar ada salah satu istilah yang sangat terkenal yakni budaya pamali, bagi penulis budaya pamali sedikit banyaknya mempunyai unsur-unsur keislaman.
Dalam hal ini hampir seluruhnya orang tua yang ada di Mandar tidak membolehkan membuka ketupat kalau tidak dibuka dalam keadaan diris/dibelah. Tidak membolehkan membuka ketupat dengan tidak diiris/dibelah pun mempunyai arti tersendiri, “coba kita lihat orang yang membuka ketupat dengan mengiris/membelah, pasti warna yang pertama kali dia lihat sewaktu habis membelah/mengiris ketupat ialah warna putih dari isi ketupat tersebut”, maknanya ialah warna putih dari isi ketupat tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa sejatinya manusia ketika berhadapan dengan manusia, alam dan Tuhan (hablun minallah, hablun minannaas, dan hablun minal ‘alam) harus dalam keadaan bersih/suci hatinya.
Ketiga, kalau kita menghubungkan kata tiriq dengan tariqah yang berarti jalan, maka sesungguhnya tiriq pun demikian. Kehadiran tiriq dalam perayaan maulid di Mandar menjadi simbol ketauhidan, menjadi simbol jalan untuk sampai kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasalllam, hal ini kebanyakan dari kita belum mamahaminya.
Kesimpulan
Budaya tiriq dalam perayaan maulid Nabi sallallahu alaihi wasallam memiiki pelajaran yang sangat berharga dan memiliki unsur-unsur keislaman, adanya hubungan terhadap Tuhan, hubungan terhadap manusia, dan hubungan terhadap alam tergambar dalam budaya tersebut. Tidak hanya itu seluruh unsur-unsur yang ada pada tiriq juga mempunyai nilai-nilai filosofi yang sangat dalam yang mampu mengantarkan manusia memahami kemanusian manusia terhadap Tuhan dan alam.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Jurusan Studi al-Qur'an dan al-Hadis Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Parappe