SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Menemukan Tuhan di Balik Filsafat dan al-Quran bag. 05

SHARE

Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan tentang keesaan Allah, maka pada bagian kelima ini, kita akan kemukakan tentang Keesaan sifat-Nya, sekaligus bagian terakhir dari tulisan “Menemukan Tuhan Di Balik Filsafat dan al-Qur’an”. Mengenai Keesaan sifat-sifat Allah, itu berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Seperti kata rahman yang merupakan salah satu sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas kasih sayang Allah berbeda dengan kasih sayang makhluknya. Intinya bahwa Allah Esa dalam sifatnya.

Mengenai keesaan sifat-sifat Allah, kita dapat melihat salah satu surah yang sangat jelas dimana Allah swt. membuat pernyataan tentang diri-Nya. Qs. Al-Ikhlas; 1-4; “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Sementara ulama memahami bahwa keesaan sifat-sifat-Nya dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifatnya. Mereka menolak pensifatan kepada Tuhan, walaupun mereka percaya bahwa Allah Maha pengampun, maha mengetahui dan sebagainya (asma’ul husna). Akan tetapi itu dipahami sebagai satu kesatuan dalam Zat-Nya. Mu’tazilah juga berusaha menafikan sifat-sifat Allah dalam arti sifat Tuhan tidak berpisah dan berdiri sendiri dari Zat-Nya, karena jika demikian berarti terjadi yang disebut ”ta’addud al-qudama” yang tidak mungkin terjadi pada Allah sebagai Zat yang ”Esa”. Dalam hal nama-nama Tuhan (sifat-sifat) ini, kita dapat melihat firman Allah pada Qs. Al-A’raf (7): 180. “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan”.

Keesaan perbuatan-Nya; Keesaan mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, sistem maupun wujudnya, adalah hasil perbuatan Allah semata. Tidak ada daya untuk menolak maupun menerimanya tanpa kehendaknya. Itulah makna Firman-Nya, Qs. Al-Kahfiy: 39. "Maasya Allah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua Ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Namun Keesaan perbuatan Tuhan tersebut tidak terlepas dari hukum-hukum, takdir dan sunnatullah-Nya. Dalam mewudjukan perbuatan-Nya. Tuhan tidak membutuhkan suatu apapun. Qs. Yasin: 82. ”Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”.

Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata ”jadilah” atau (kun fa yakun) untuk menciptakan sesuatu. Ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakannya tercipta dalam sekejap, tanpa proses.

Berdasarkan urain sebelumnya, dari bagian pertama sampai bagian kelima, bahwa konsep ketuhanan dalam filsafat pada hakikatnya mengesakan Tuhan. Hanya saja setiap filosof menggunakan teori yang berbeda-beda, seperti Plato dengan teori ketuhanannya “Yang Esa” yang dilandaskan pada dua dialektika, yakni “dialektika menurun” (a way up, al-Jadal al-Sha’id) dan dialektika menaik. Aristoles menggunakan “teori form” dan “Matter” (surah dan maddah) kadang-kadang juga dengan “teori potential being” dan “aktual being”. al-Kindi dengan teori ‘ainiyah dan Mahiyah-nya, Ibn Rusyd dengan teori inayah dan ikhtira’-nya dan Ikhwan al-Shafa’ dengan teori bilangannya (angka-angka) dan seterusnya. Namun kesemua itu, tetap bermuara pada satu hakikat yakni berusaha memberikan argumentasi-argumentasi dalam menjelaskan Keesaan Tuhan.

Demikian pula al-Qur’an berusaha memberi penjelasan tentang ketuhanan atau prinsip ketauhidan melalui ayat-ayatnya. Al-Qur’an sebagai wahyu sekaligus petunjuk yang dinilai lebih rinci dan sistematis. Itu tidak terlepas bahwa Tuhanlah yang lebih tahu tentang dirinya, sehingga wahyu dalam bentuk ayat-ayat yang menjelaskan tetang ketuhanan, menempati posisi tertinggi dalam menjelaskan keesan Allah swt. (Majene, 12 Juni 2020).

#Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe