SANTRINISASI INDONESIA
Oleh : Muhammad Arif Yunus

By Admin PPSP 06 Okt 2019, 06:43:36 WITA | Dibaca 2579 Kali Opini
SANTRINISASI INDONESIA

Mengawali tulisan ini saya ingin mengajak kepada seluruh pembaca untuk sama-sama berikrar atas nama santri dengan menghadirkan seluruh kesucian hati agar esensi dari sebuah “santri” tidak hanya menjadi tatanan konsep saja, akan tetapi ranah aplikatif dapat terialisasikan.

IKRAR SANTRI INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah

Kami Santri Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI)

Berikrar:

  1. Sebagai santri NKRI, berpegang teguh pada aqidah ajaran nilai dan tradisi Islam Ahlussunnah wa al-Jamaah;
  2. Sebagai santri NKRI, bertanah air satu, tanah air Indonesia, beridiologi negara satu, idiologi Pancasila, berkonstitusi satu, UUD 1945, berkebudayaan satu, kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. Sebagai santri NKRI, selalu bersedia dan siap siaga menyerahkan jiwa dan raga membela Tanah Air dan bangsa Indonesia, mempertahankan persatuan dan kesatuan nasional serta mewujudkan perdamaian abadi;
  4. Sebagai santri NKRI, berperan aktif dalam pembangunan nasional, mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin untuk seluruh rakyat indonesia yang berkeadilan;
  5. Sebagai santri NKRI, pantang menyerah, pantang putus asa serta siap berdiri di depan melawan pihak-pihak yang akan merongrong Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal ika, serta konstitusi dasar lainnya yang bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan dan resolusi jihad Nahdlatul Ulama.

Demikian ikrar santri ini yang mana KH. Ma’ruf Amin dalam peringatan Hari Santri secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang sudah menandatangani penetapan Hari santri Nasional pada 22 Oktober.

Sedangkan KH. Said Aqil Siroj dalam orasinya yang di ungkapkan dalam buku (Buku Pintar Islam Nusantara karangan Muahammad Sulton Fatoni halaman 190), menegaskan bahwa Hari Santri bukanlah monopoli murid-murid pesantren, akan tetapi seluruh Umat Islam Indonesia yang mempunyai semangat spirit kebangsaan.

Pernyataan KH. Said Aqil Siroj ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa  Siapapun mereka dari golongan apapun ketika mempunyai semangat kebangsaan yang tinggi dan juga solidaritas dalam mengembangakn setiap komitmen negara yang adil, maka sejatinya dia juga termasuk santri. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Gus Mus ditausiyahnya pada saat kirap hari santri 22 Oktober 2015 ialah, “bahwa yang disebut santri bukan yang mondok saja tetapi siapapun yang ber-akhlak santri, yang tawaddu' kepada Gusti Allah, Tawaddu' kepada orang alim, kalian namanya santri dan santri melihat tanah air Indonesia ini sebagai rumah, kalau  santri berbicara kebangsaan bukan karena nasionalisme, karena santri tidak tau isme-isme akan tetapi karena keterlibatan dan kepemilikannya terhadap bangsa ini”.

Historis Hari Santri Indonesia

Pencanangan Hari Santri tak lepas dari jasa-jasa seluruh Ulama Nusantara termasuk KH. Thoriq Darwis, selaku pengasuh Pondok Pesantren Babussalam Banjarejo, Pegalaran, Malang, Jawa Timur saat Kunjungan Calon Presiden Joko Widodo pada jumat malam, 27 Juli 2014. Kiyai Thoriq, merupakan alumni Pondok Pesantren Sidogiri, juga memeiliki kaitan erat dengan pesantren yang berlokasi di Pasuruan tersebut.

Tanggal 1 Muharram merupakan salah satu usulan Hari Santri KH. Thoriq pada saat itu, alasan KH. Thoriq memilih tanggal 1 Muharram diakibatkan karena melihat tradisi pesantren yang kerap kali digunakan untuk memperingati tahun baru Islam/hijriyah. Usulan kiyai Thoriq ini direspon baik oleh Joko Widodo yang mana Presiden RI ini mengungkapkan bahwa kondisi santri yang ada di Indonesia saat ini harus betul-betul diperjuangkan, dikarenakan Pondok Pesantren merupakan kunci utama yang menunjang Pelaksanaan program revolusi mental di Indonesia.

Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa secara konsep maupun aktualisasi di Pondok Pesantren di ajarkan akhlakul karimah dan pembinaan mental yang sangat baik sehingga santri dapat menjalani kehidupan amal ma’ruf nahi munkar atau dengan baik dan benar bahkan ketika sudah keluar dari pesantren nilai-nilai santri masih tertanam dalam diri.  

Pasca pertemuan KH. Thoriq tersebut, wacana hari santri terus menggelinding saat jokowi terpilih sebagai Presiden, di berbagai kesempatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga mendorong agar pemerintah menetapkan Hari Santri.

Muahammad Sulton Fatoni dalam bukunya “Buku Pintar Islam Nusantra” pada halaman 182 mengungkapkan bahwa  KH> Aqil Siroj dalam Forum focus Group Discussion bertajuk “Hari Santri Perspektif Lembaga Keagamaan” yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di Bogor, Kamis, 23 April 2015 memberikan masukan kepada pemerintah agar menetapkan Hari Santri. Hal yang paling mendasar ialah KH. Aqil Siroj kurang sepakat jikalu hari santri ditetapkan pada 1 Muharram, dengan alasan bahwa tahun baru Islam merupakan hari dimana seluruh umat Islam dunia memperingatinya. Usulan yang dibangun KH. Aqil Siroj ialah jatuh pada tanggal 22 Oktober.

Tanggal 22 Oktober menurut KH. Aqil Siroj ini mempunyai makna filosofis yang sangat dalam diakibatkan bahwa tanggal 22 Oktober 1945 merupakan latar sejarah tercetusnya Resolusi Jihad NU dimana para kiyai berkumpul, dari berbagai golongan, khususnya di tanah Jawa dan Madura, untuk memberikan perannya dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia.

Usulan KH. Aqil Siroj ini tidak hanya berhenti pada Forum focus Group Discussion bertajuk “Hari Santri Perspektif Lembaga Keagamaan” tersebut. Akan tetapi di beberapa pertemuan termasuk pada saat pelantikan Pengurus hasil Mukhtamar ke-33 NU di Jombang pada hari Sabtu, tanggal 5 September 2015 di Masjid Istiqlal Jakrta. Dihadapan wakil Presiden Jusuf Kalla, beberapa pejabat Negara dan Puluhan ribu Nahdiyyin.

Pada kahirnya usaha Ulama-Ulama tentang penetapan Hari Santri Nasional berbuahkan hasil, Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, ketetapan ini termaktub dalam keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani pada hari Kamis, 15 Oktober 2015.

Santrinisasi Indonesia

Setelah berbicara sejarah di tetapkannya hari santri, maka pembahasan kali ini penulis menyajikan suatu pembahasan yang sangat subtansial dari “santri” itu sendiri, yang mana penulis menawarkan suatu konsep pemahaman yakni “Santrinisasi Indonesi”, pemahaman ini berusaha untuk mengaplikasikan karakter santri dalam ber-Indonesia, apalagi dalam hal politik.

Hal ini selaras dengan apa yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya “Membumikan Islam, (Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan)” mengungkapkan bahwa moral dan kejujuran yang dimiliki seorang santri sangat dibutuhkan di bumi Indonesia ini, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif sangat menekankan bahwa moral dan kejujuran merupakan sesuatu yang tidak ditawar, beliau sangat tidak percaya dengan doktrin yang mengatakan bahwa dalam berpolitik orang harus bermain kotor, memercayai doktrin yang seperti ini kata beliau sama halnya memisahkan iman dari dada seorang santri.

Adapun dalam praktek politik yang bermain kotor sering kita jumpai, hal ini yang menjadi penyebab ialah keimanan sesorang tidak berfungsi. Sejatinya proses Indonesia mencapai titik yang sangat agung dan mengesankan akan sangat tergantung pada kualitas akhlak seorang santri.

Selama prinsip moral dan kejujuran yang dimiliki seorang santri bisa di aplikasikan oleh semua elemen manusia, maka konsep santrinisasi Indonesia akan mudah diterima sebagai sesuatu proses yang wajar dan alamiah.

Untuk mencapai prinsip moral dan kejujuran yang dimiliki seorang santri, maka dibutuhkan sutau konsep yang bisa menggiring keranah yang lebih baik. Konsep yang penulis tawarkan ialah konsep mabadi’ khairi ummah (pilar-pilar masyarakat ideal) yang digagas oleh KH. Mahfudz Shiddiq (1906-1944) pada 1935. Menurut A. Helmy Faisal Zaini dalam buku (Nasionalisme Kaum Sarungan) bahwa konsep ini hanya mencakup tiga pilar, akan tetapi pada masa sesudahnya dikembangkan menjadi lima pilar, yaitu pertama, ash-Shidqu (pilar kejujuran dan kebenaran), kedua, al-Amanah Walwafi’ Bil ‘Ahdi (pilar kesetiaan dan komitmen), ketiga, al-‘Adalah (pilar keadilan), keempat, At-ta‘awun (pilar solidaritas), dan kelima, al-Istiqamah (pilar kedisiplinan dan konsistensi).

Kelima pilar di atas menjadi pondasi dasar seorang santri dalam berinteraksi sesama manusia, jikalau hal demikian ini diterapkan oleh seluruh elemen manusia dalam berinteraksi dalam hal apapun baik secara garis kultur maupun struktural maka terciptanya masyarakat Indonesia yang aman dan damai. Dan khusus bagi santri atau yang mengaku santri diharapkan kelima elemen diatas mampu dijaga dengan sebaik mungkin sehingga kesucian santri tidak ternodahi. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Jurusan Studi al-Qur'an dan al-Hadis Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Parappe




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

Write a comment

Ada 4 Komentar untuk Berita Ini

View all comments

Write a comment