MENGENAL LEBIH DEKAT Al MAGFURLAHU ANNANGGURU ARSYAD MADDAPPUNGAN (Bag. 2)
Sepulang belajar dari tanah suci Mekah, Puang Panrita kembali ke kampung halamannya di Belokka. Beliau kemudian dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang perempuan yang bernama Sa’diyah. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1903. Dari perkawinan itu, ia dikarunia 3 orang anak masing-masing, Puang Ado, Muhammad dan Fatimah. Ia kemudian dipercaya menjabat qadhi Sidenreng sampai ia kemudian meninggalkan kampung halamannya dan kembali menuju Campalagian. Di sinilah kemudian ia selanjutnya mengembangkan dakwah melalui pengajian kitab kuning bahkan bisa dikatakan fase inilah masa keemasan pengajian Kitab Kuning di Campalagian.
KH. Arsyad Maddappungan atau Puang Panrita dikenal memiliki ilmu agama yang sangat luas dan dalam karena kecerdasannya yang luar biasa. Ketika Syekh Said Al Yamani meninggalkan Campalagian dan kembali ke Mekah, acap kali terjadi perselisihan pendapat antara Syekh Hasan Al Yamani (Putra Syekh Said Al Yamani ) yang tinggal menetap dan mengajar di Campalagian kala itu dengan Puang Panrita. Perdebatan mereka kadang kala berakhir ketika salah satunya mengakui. Menafsirkan teks-teks bahasa arab menurut pandangan kita yang awam tentu akan lebih difahami oleh sosok Syekh Hasan Yamani karena beliau asli asli dari Arab Timur Tengah. Namun ternyata tidak selamanya demikian karena ternyata dalam beberapa perdebatan, diakui sendiri oleh Syekh Hasan Al Yamani bahwa pemahaman Puang Panrita lebih tepat. Itu mungkin terjadi karena Puang Panrita sangat, tekun, cermat dan sangat berhati-hati dalam memaknai sebuah teks.
Menurut satu sumber, pernah terjadi satu kasus di Campalagian tentang perdebatan hukum memotong hewan nadzar di pekuburan. Perdebatan ini tidak kunjung mendapatkan jalan penyelesaian dari keduanya. Akhirnya masalah ini dikirimkan ke Syekh Said Al Yamani untuk mendapatkan jawaban yang saat itu berada di Mekah berikut dalam risalah perdebatan itu dicantumkan keterangan dari kedua muridnya itu yakni Puang Panrita dan Syekh Hasan Al Yamani. Akhirnya jawaban yang datang dari Syekh Said Al Yamani memberikan dukungan pada pendapat yang dikemukakan oleh Puang Panrita.
Dengan segala kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Puang Panrita, tokoh-tokoh agama di Campalagian kemudian berusaha agar Puang Panrita bisa tetap tinggal di Campalagian dalam mengembangkan pengajian yang diasuhnya. Oleh karena itulah pada tahun 1910, ia dijodohkan dengan salah seorang putri Qadhi Campalagian (Annangguru Abdul Hamid) yang bernama St. Rabi’ah binti Abd. Hamid. Dari perkawinan kedua ini, ia dikarunia 13 orang anak yaitu: Abdullah Maddappungan, Muhaebah Maddappungan, Abbasiyah Maddappungan, Rafi’ Maddappungan, Zainuddin Maddappungan, Sapiyah Maddappungan, Aisyah Maddappungan, Muh. Da’aming Maddappungan, Hamdanah Maddappungan, Abd. Mu’in Maddappungan, Abd. Razak Maddappungan, Muh. Ali Maddappungan dan Muh. Aco Maddappungan.
Pada akhirnya Puang Panrita memilih Campalagian sebagai tempat mengabdi hingga ia wafat pada tahun 1954. Di samping mengembangkan pengajian Kitab di Campalagian, ia juga pernah dipercaya sebagai Qadhi di Binuang. Maddapungan juga sempat menjadi Qadhi Campalagian selama 6 tahun (1948–1954). Setelah wafat, ia digantikan oleh menantunya Annangguru Muhammad Zein sebagai sabagai Qadhi Campalagian sekaligus melanjutkan tradisi mangngaji kitab Kuning yang dilaksanakan di rumahnya dan di Masjid Raya Campalagian.
Tim redaksi pernah memuat dalam website ini bahwa tepatnya hari Sabtu, 21 Juli 2018 sekitar jam 13.00 Wita, Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Parappe (PPSP) KH. Abdul Latif Busyra mendapatkan kunjungan dari seorang Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jakarta. Peneliti ini mendapatkan tugas dinas dari institusinya untuk menggali informasi cerita-cerita rakyat tentang karomah-karomah ulama-ulama masa lalu di Campalagian. Ketika hal itu ditanyakan langsung kepada Pimpinan PPSP, beliau kemudian menjawab, ”Ketika seorang ulama mampu melahirkan seorang ulama maka itulah karomah yang paling tinggi, Puang Panrita telah mampu melahirkan ulama-ulama di Campalagian secara turun-temurun sampai hari ini, maka itulah karomahnya terbesarnya,”.
Nama beliau tidak hanya abadi di hati masyarakat Campalagian karena namanya telah disemangatkan menjadi sebuah nama jalan di Desa Bonde Campalagian namun lebih dari itu namanya selalu terngiang di hati para kaum santri yang teguh memegang prinsip pembelajaran kitab kuning hingga hari ini. Beliau layak disebut Puang Panrita Pencetak Para Panrita.
Lahu Alfatihah...
Bersambung .......
Referensi :
Disadur dari buku “Jaringan Ulama Mekah-Yaman-Kalimantan-Sulawesi Abad XIX-XXI M” tahun 2019 karya Dr. Wajidi Sayadi, S.Ag, M.Ag dan Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar dengan judul “Arsyad Maddapungan A Scholar Generated the Scholars” tahun 2014 oleh Syarifuddin.