Humor Santri : Beda Puakkali dengan Pakkali
Humor Santri : Beda Puakkali dengan Pakkali

By Admin PPSP 24 Okt 2018, 17:59:46 WITA | Dibaca 2102 Kali Pojok Santri
Humor Santri : Beda Puakkali dengan Pakkali

BEDA PUAKKALI DENGAN PAKKALI

Oleh : Tim Redaksi

Dahulu saat pesantren belumlah mengenal sistim Madrasiyah, mereka yang datang mondok dari berbagai daerah itu, rata-rata posturnya besar-besar dengan usia kebanyakan di atas 17 tahun. Mafhum mereka ini berasal dari tamatan SMA, proses kuliah bahkan ada yang putus sekolah yang kemudian mendapat kesadaran dan dorongan untuk mengaji kitab kuning.

Hari jumat itu masihlah pagi sekitar jam depalan lewat sedikit. Seperti biasanya kegiatan santri di hari jumat adalah bersih-bersih lingkungan pesantren setelah mereka ziarah kubur dan sarapan pagi tentunya.

Pagi itu pimpinan pondok berinisatif untuk menggali selokan yang ada di sebelah rumah beliau. Salah satu yang beliau panggil adalah santri bernama Sahar dan beberapa santri lainnya yang memiliki postur tubuh agak besar yang kira-kira kuat bekerja.

“Sahar…!,” Panggil Annangguru pada kerumunan santri yang sedang menggali selokan itu.

 “Iye’ Annangguru,” Jawab sahar pelan sambil menunduk hormat.

“Ambil dulu pakkali !” Lanjut Annangguru. Pakkali dalam Bahasa Campalagian adalah alat sejenis linggis yang biasa digunakan menggali tanah.

“Iye’ Annangguru,” Jawab Sahar spontan yang seketika itu juga meninggalkan teman-temannya yang masih kerja.

Agak lama teman-temannya menunggu kedatangan Sahar yang tak kunjung datang padahal sudah sekitar 20 Menit waktu berlalu sejak Sahar meninggalkan mereka.

“Adami Sahar?” Tanya Nangguru kemudian kepada kumpulan santri yang terus menggali selokan itu.

“Belumpi Annangguru,” Jawab salah satu santri bernama Said.

Belum lepas kalimat Said menjawab, tiba-tiba terlihat Sahar muncul dari kejauhan arah tanggul sungai yang menghubungkan Desa Parappe dan Desa Bonde sambil lari – lari kecil sedikit tergopoh-gopoh.

“Manami Pakkali Sahar ?” Tanya Annangguru kemudian setelah berada di hadapannya.

“Eeeeee…, Kesinimi Nangguru, pake bajui dulu,” Jawabnya sambil ngos-ngosan.

“Maksudnya ?” Tanya Nangguru dengan alis sedikit berkerut keheranan.

“Iye, pa’ tidak ada yang bisa boncengki Puakkali (Puang Kali) Annangguru, jadi jalanki,” Jawab Sahar sedikit berlogat Bugis.

“Jadi yang muambil Puakkali ?” Tanya Annangguru memperjelas sambil tersenyum.

“Iyye’ Annangguru,” Jawab Sahar sambil menundukkan kepala yang mulai merasa bersalah atas kesalahpahamannya diikuti tawa yang tertahan dari teman-temannya karena menghormati Annangguru yang berada diantara mereka.

Berselang sekitar lima menit kemudian dari arah tanggul muncul Puang Kali (Qodi Campalagian yang dalam lidah orang Campalagian menyebut gelar itu dengan sebutan Puakkali dengan mengganti huruf “ng” menjadi “k” ) dengan pakaiannya yang khas, baju koko  putih, sarungan dan sorban berjalan pelan diusianya yang sudah paruh baya ke kediaman Annangguru.

Annangguru menyambut beliau dengan ta’dzim sambil mempersilahkan ke atas kediamannya dengan memberikan suguhan seadanya.

Demikianlah penggalan cerita ini semoga menginsiprasi untuk ta’at pada guru tapi tentu tanpa mengenyampingkan tabayyun sebelum melaksanakan perintah guru.

 

Sumber cerita   : Ust. Sirajuddin

Editor                  : Subhan Hawaya




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment